Kebijakan Pemerintah Indonesia
Terhadap Krisis Ekonomi 1997 - 1998
Hapsari Widayani, J. Asfirotun, Siti Iqlima
Zeinia
Abstrak
Jurnal ini
membahas tentang krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Krisis ekonomi
tahun 1998 membuat perekonomian Indonesia menjadi tidak terkendali. Banyaknya
pengangguran, nilai mata uang turun, dan harga barang pokok naik drastis. Dalam
keadaan seperti ini pemerintah melakukan kebijakan moneter dan kebijakan
fiskal. Hal ini dilakukan untuk meredakan krisis yang terjadi saat itu. Dalam
kebijakan moneter terdapat 6 cara dalam mengatasi krisis. Keenam cara itu
adalah open market, politik diskonto, politik sanering, kredit selektif, rasio
cadang wajib, dan himbauan moral. Semua kebijakan itu bertujuan untuk mengatasi
inflasi yang terjadi saat itu. Selain kebijakan moneter, pemerintah juga
melakukan kebijakan fiskal. Berbeda dengan kebijakan moneter yang
terkonsentrasi pada otoritas moneter dalam bentuk pengendalian agregat moneter
untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan, kebijakan
fiskal terkonsentrasi pada anggaran dan pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Tujuan penulisan
jurnal ini adalah memberikan informasi mengenai cara menanggulangi permasalahan
yang terjadi dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah.
Metodologi
yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah dengan melakukan studi
pustaka. Kami mencari bahan – bahan/materi melalui jaringan internet dan buku.
Kata kunci: Inflasi, krisis ekonomi tahun 1998,
kebijakan fiskal, kebijakan moneter.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perekonomian
di Indonesia tidak selalu berjalan dengan mulus. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia menjelang akhir tahun 1997 dan mencapai klimaksnya pada tahun 1998
sangat memukul perekonomian nasional. Pada tahun 1998 PDB merosot tajam membuat
pendapatan per kapita menurun drastis. Krisis ekonomi tersebut diawali oleh
krisis keuangan atau krisis rupiah. Nilai tukar rupiah tiba – tiba mengalami
depresiasi pada pertengahan 1997 dan terus berlangsung hingga tahun 1998,
hingga akhirnya pemerintah membiarkan nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan
oleh kekuatan pasar (permintaan dan penawaran) karena telah terjadi pelarian
modal (dalam dolar AS) secara mendadak dan dalam jumlah yang sangat besar, yang
membuat permintaan dolar AS di pasar domestik meningkat tajam yang akhirnya
sesuai mekanisme pasar mendorong ke atas kurs rupiah terhadap dolar AS.
Menjelang
pertengahan 1997, ekonomi dari negara – negara Asia khususnya Indonesia, Thailand,
Malaysia, dan Korea Selatan, mulai menunjukkan kecenderungan memanas, salah
satu tandanya adalah laju inflasi yang mulai merangkak naik. Beberapa dari
sejumlah indikator makroekonomi lainnya juga menunjukkan adanya suatu bahaya
terselubung. Terutama neto tabungan investasi yang negatif, yang menandakan
bahwa di negara – negara tersebut selama periode tersebut menjelang krisis
telah terjadi kelebihan investasi. Hal ini memang berpotensi menjadi penyebab
krisis, terutama jika sebagian besar dari kelebihan investasi tersebut (yang
artinya sebagian dari kebutuhan investasi tidak dapat ditutup oleh tabungan
dalam negeri) dilakukan di sektor – sektor yang tidak diperdagangkan secara
internasional, seperti misalnya apartemen, pertokoan dan konstruksi lainnya.
Juga neraca fiskal yang menjelang tahun 1998 semakin defisit dan ini biasanya
menimbulkan kenaikan utang, khususnya dari luar negeri. Defisit pemerintah yang
berkelanjutan atau cenderung membesar bisa memberi suatu indikasi bahwa suatu
saat pemerintah tidak sanggup lagi berperan di dalam ekonomi lewat
pengeluarannya secara optimal, dan suatu hal yang negatif bagi kelangsungan
ekonomi, khususnya ekonomi yang masih sangat bergantung pada pengeluaran
pemerintah.
Kecenderungan
ekonomi dari negara – negara di Asia memanas yang akhirnya bisa meledak,
membuat para investor asing yang memegang beberapa saham dari perusahaan besar
mulai khawatir dan akhirnya para investor asing menjual semua saham – saham
yang mereka pegang.
Krisis ini benar – benar diluar dugaan karena
banyak anggapan bahwa Indonesia pada saat itu mempunyai fundamental
perekonomian yang kuat. Namun kenyataan yang terjadi sebaliknya. Setelah
terbuai selama dua dekade dengan perekonomian yang serba gemilang, pada akhir
tahun 1998 Indonesia mengalami kejadian yang terasa pahit yaitu mengalami
keterpurukan dalam bidang ekonomi akibat terjadinya inflasi yang begitu besar.
Krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar bath di Thailand
berkembang menjadi krisis ekonomi global dan berlanjut lagi menjadi krisis
sosial hingga menyentuh dunia politik.
Selain karena permasalahan itu, terdapat
beberapa penyebab terjadinya krisis tahun 1998 di Indonesia. Adapun penyebabnya
adalah tingginya stok hutang luar negeri swasta dan umumnya berjangka pendek,
hal ini menimbulkan efek ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Selain itu
penyebab lainnya adalah lemahnya system perbankan di Indonesia. Dengan
kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung
beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Krisis yang sudah berjalan
sejak pertengahan tahun 1997 berkembang semakin buruk dalam tempo yang cepat.
Dampak krisis ini mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat Indonesia
terutama yang berhubungan dengan dunia usaha. Banyak pengusaha atau perusahaan
mengalami kerugian yang cukup signifikan dan menutup perusahaannya.
Berdasarkan permasalahan diatas dapat kita
ketahui tujuan dari pembuatan jurnal ini yaitu agar mengetahui dampak dan cara
menanggulangi inflasi di Indonesia. Pembahasan ini akan menitikberatkan pada
dampak, cara atau peran pemerintah menghadapi krisis ini, serta keterkaitan
antara inflasi dengan kebijakan moneter dan fiskal.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana kebijakan yang dilakukan pemerintah
dalam mengatasi krisis ekonomi 1997-1988 di perekonomian Indonesia?
II. BAHAN dan METODE
Dalam penulisan jurnal ini, kami memperoleh
data/bahan dari buku dan internet. Metodologi yang digunakan dalam penulisan
jurnal ini adalah dengan melakukan studi pustaka. Kami mencari bahan – bahan/materi
melalui jaringan internet dan buku.
III. HASIL
Jika dilihat dari
kasus inflasi tahun 1998, pemerintah lebih banyak menggunakan kebijakan
moneter. Kebijakan moneter yang dipakai saat itu adalah open market dan
fasilitas diskonto. Target ini akan dicapai melalui pengendalian uang primer
(M0), daripada dengan cara membatasi pemberian kredit.
Pengendalian uang
primer antara lain dilakukan dengan cara mengaktifkan perdagangan Sertifikat
Bank Indonesia (SBI). Suku bunga SBI dipertahankan pada tingkat yang relatif
tinggi di atas 20 persen sejak bulan Januari 1998. Suku bunga SBI kemudian
ditingkatkan lagi pada tanggal 23 Maret 1998, misalnya SBI 1 bulan dari 22
persen menjadi 45 persen (dengan tingkat bunga efektif tahunan sebesar 55
persen). Pada giliran selanjutnya dengan suku bunga perbankan yang tinggi
diharapkan dapat menahan kecenderungan meningkatnya aliran modal keluar.
Pengendalian
diatas termasuk ke dalam open market yaitu menjual surat berharga. Menjual
surat berharga bertujuan untuk menukar uang dengan surat berharga. Hal ini
bertujuan agar menurunnya uang beredar. Selain itu pemerintah juga menaikan
suku bunga di bank. Hal ini dilakukan agar masyarakat mau menginvestasikan uang
mereka di bank. Tujuannya adalah agar uang yang beredar di masyarakat turun.
Selain
pengendalian diatas pemerintah juga memakai kebijakan fiskal yaitu dengan cara
menikkan pajak. Pada dasarnya inflasi adalah menjaga agar uang beredar tidak
terlalu banyak. Hal ini untuk menstabilkan perekonomian di negara tersebut.
Dengan begitu pemerintah harus menaikan pajak agar masyarakat tidak membeli
barang-barang. Namun konsekuensinya adalah daya beli masyarakat menurun. Oleh
karena itu cara yang diambil pemerintah saat itu kurang berdampak penuh pada
perekonomian Indonesia.
Dalam jurnal ini
akan dijelaskan mengenai kebijakan moneter dan kebijakan fiskal lebih dalam.
Artinya, jurnal ini akan memberikan contoh apa yang akan terjadi jika memakai
kedua kebijakan tersebut.
·
Kebijakan Moneter
Dalam kebijakan moneter terdapat 6
cara untuk mengatasi masalah perekonomian makro. Keenam cara tersebut adalah
open market, politik diskonto, politik sanering, kredit selektif, rasio cadang
wajib, dan himbauan moral.
Keenam cara tersebut adalah untuk
mengatasi uang yang beredar. Seperti halnya open market dengan cara membeli
atau menjual surat berharga. Lalu politik diskonto dengan cara menaikan atau
menurunkan suku bunga agar masyarakat berkeinginan untuk berinvestasi.
Sedangkat politik sanering untuk menurunkan nilai mata uang. Jika nilai mata uang
terlalu tinggi, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan ini agar nilai mata uang
turun yang tadinya Rp. 1000 menjadi Rp.1
Kredit selektif dilakukan pemerintah
untuk mengurangi uang beredar di masyarakat. Bank harus melalukan kredit
selektif dengan cara memberikan syarat dan ketentuan berlaku untuk peminjaman
kredit bagi masyarakat. Ini juga termasuk ke dalam rasio cadangan wajib dan
himbauan moral. Bank dihimbau untuk melaksanakan kredit selektif bagi
masyarakat yang ingin melalukan pinjaman.
·
Kebijakan Fiskal
Dalam kebijakan ini terdapat beberapa
cara, namun pada intinya adalah pengurangan belanja pemerintah dan atau
peningkatan pajak yang dirancang untuk menurunkan permintaan agregat dalam
perekonomian.
Kebijakan fiskal terkonsentrasi pada
anggaran dan pajak. Contohnya adalah menaikan pajak agar daya beli masyarakat
menurun. Jika terjadi penurunan pada daya beli masyarakat akan berdampak pula
pada penurunan uang beredar.
Dalam kebijakan fiskal terdapat dua cara lagi
yaitu, efek pengganda dan kebijakan fiskal dari sisi penawaran.
a. Efek Pengganda
Dalam ilmu ekonomi, peningkatan belanja oleh
konsumen, perusahaan atau pemerintah akan menjadi pendapatan bagi pihak-pihak
lain.
Ketika orang ini membelanjakan pendapatannya,
belanja tersebut menjadi pendapatan bagi orang lain dan seterusnya, sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan produksi dalam suatu perekonomian. Efek
pengganda dapat juga berdampak sebaliknya ketika belanja mengalami penurunan.
b. Kebijakan Fiskal Sisi-Penawaran
Kebijakan fiskal dapat secara langsung
mempengaruhi bukan saja permintaan agregat, namun juga penawaran agregat.
Kebijakan ini sangat bermanfaat untuk
mengurangi angka pengangguran akibat inflasi dan dapat menurunkan harga barang.
Caranya adalah menurunkan pajak. Kebijakan ini berpihak pada sisi penawaran.
Oleh sebab itu caranya adalah dengan menurunkan pajak. Dengan adanya penurunan
pajak, perusahaan bisa membeli bahan baku. Otomatis dengan bertambahnya bahan
baku, perusahaan membutuhkan tenaga kerja untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.
Oleh sebab itu pengangguran dapat teratasi.
Kebijakan
ini bisa membuat pendapatan negara bertambah. Jadi, kebijakan ini bisa
memberikan berbagai manfaat seperti naiknya pendapatan nasional dan
berkurangnya pengangguran.
IV.
PEMBAHASAN
Jurnal ini mengangkat kasus krisis tahun 1998
yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 1998, krisis tersebut mengakibatkan
inflasi yang cukup tinggi. Dilihat dari perkembangan ekonomi pada saat itu
terjadi kenaikan harga barang secara keseluruhan dan terjadi secara terus
menerus. Merosotnya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah
kondisi usaha sektor swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini
terjadi antara lain karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait
dengan tidak diterimanya LC Indonesia dan beban hutang luar negeri yang semakin
membengkak sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat
bunga bank. Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998
diperkirakan akan semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran
selanjutnya menurunkan lebih lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada
triwulan kedua tahun 1998.
Selain itu dalam perkembangan nilai mata uang
juga mengalami penurunan yang sangat signifikan. Nilai tukar rupiah sangat
lemah jika dibanding dollar yang naik hingga 100%. Selama lima bulan pertama
tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berfluktuasi. Selama triwulan
pertama, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai sekitar Rp9200,- dan selanjutnya
menurun menjadi sekitar Rp8000,- dalam bulan April hingga pertengahan Mei.
Nilai tukar rupiah cenderung di atas Rp10.000,- sejak minggu ketiga bulan Mei.
Kecenderungan meningkatnya nilai tukar rupiah sejak bulan Mei 1998 terkait
dengan kondisi sosial politik yang bergejolak. Faktor non-ekonomi ini
diperkirakan tetap berpengaruh besar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah
dalam beberapa bulan mendatang.
Lonjakan likuiditas perekonomian dalam situasi
sektor riil yang lesu menyebabkan dorongan inflasi semakin kuat. Hal ini
tercermin dari kenaikan inflasi yang mencapai 33,09 persen dalam periode
Januari - April 1998. Dalam rangka menekan inflasi selama tahun 1998, Bank
Indonesia telah menyusun program keuangan. Pertumbuhan likuiditas perekonomian
direncanakan 16 persen dalam tahun 1998.
Inflasi dalam tahun 1998 diperkirakan akan
mencapai tingkat yang tertinggi sejak tahun 1970. Perkiraan ini berdasarkan
pencapaian inflasi sebesar 35,07 persen selama periode Januari - Mei 1998. Angka
inflasi yang relatif tinggi tercatat sebesar 33,3 persen pada tahun 1974.
Berdasarkan tingkat
inflasi dan bobotnya maka kelompok bahan makanan merupakan penyumbang inflasi
terbesar selama lima bulan terakhir ini. Dalam kelompok ini tercatat beberapa jenis
komoditi yang memberikan sumbangan besar terhadap inflasi, seperti bawang
merah, tomat sayur, ikan segar, telur ayam ras, beras, dan minyak goreng. Namun
demikian kenaikan harga dalam kelompok ini memperlihatkan kecenderungan yang
semakin menurun.
Kenaikan harga yang
terjadi pada kelompok transportasi dan komunikasikasi sebesar 17,25 persen pada
bulan Mei 1998 diperkirakan dapat mendorong laju inflasi yang relatif tinggi
pada bulan mendatang. Kenaikan biaya transportasi ini merupakan akibat langsung
dari kenaikan harga bahan bakar minyak.
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Mei
|
|
Umum
|
6,88
|
12,76
|
5,49
|
4,70
|
5,24
|
Bahan makanan
|
10,15
|
16,07
|
5,42
|
6,80
|
3,90
|
Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau
|
5,14
|
15,95
|
7,15
|
7,68
|
4,00
|
Perumahan
|
3,64
|
10,03
|
3,50
|
2,29
|
4,14
|
Sandang
|
12,56
|
15,62
|
12,50
|
4,34
|
4,53
|
Kesehatan
|
8,79
|
19,93
|
4,63
|
5,29
|
2,40
|
Pendidikan, rekreasi, dan olahraga
|
3,72
|
8,42
|
2,18
|
1,50
|
1,41
|
Transportasi dan komunikasi
|
5,84
|
5,81
|
1,59
|
4,94
|
17,25
|
Inflasi menurut kelompok bahan makanan
dan perkembangan Besaran Moneter, Maret 1998 - Mei
1998 (miliar Rp.)
Catatan: Perhitungan inflasi ini merupakan
indeks harga gabungan 44 kota. Sumber : Biro Pusat Statistik
Jika dilihat dari fakta dan data diatas
terlihat bahwa terdapat beberapa masalah yang dihadapi Indonesia saat itu.
Masalah utamanya adalah inflasi yang menyebabkan adanya beberapa masalah baru,
antara lain:
a. Harga barang-barang naik secara keseluruhan
dan terus menerus
b. Nilai mata uang turun
c. Daya beli masyarakat berkurang
d. Meningkatnya pengangguran
Masalah-masalah tersebut dapat diatas dengan
cara memberikan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan
tersebut adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
A.
Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah kebijakan dari
otoritas moneter (bank sentral) dalam bentuk pengendalian agregat moneter
(seperti uang beredar, uang primer, atau kredit perbankan) untuk mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan.
Kebijakan moneter adalah proses mengatur
persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan
inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat
melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, “margin requirement“, kapitalisasi
untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui
persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Dalam kebijakan moneter terdapat 2 jenis
kebijakan moneter, antara lain:
·
Kebijakan moneter
longgar (easy money policy) untuk menambah jumlah uang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Kebijakan ini juga disebut kebijakan ekspansif dimana tujuan utamanya adalah
menambah uang beredar.
·
Kebijakan moneter
ketat (tight money policy) untuk mengurangi / membatasi jumlah uang beredar.
Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi.
Kebijakan
ini juga disebut sebagai kebijakan kontraktif. Dalam kebijakan uang ketat
terdapat 6 cara untuk mengatasi inflasi atau untuk mengurangi jumlah uang
beredar, yaitu:
a. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi
pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau
membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah
jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun,
bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual
surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara
lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan
SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
b. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas
diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat
bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan
uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang
bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya
menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
c. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement
Ratio)
Rasio
cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah
dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah
jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan
jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
d. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan
moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan
memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan
pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi
jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank
sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
e. Kredit selektif
Politik
bank sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara memperketat
pemberian kredit
f.
Politik sanering
Ini
dilakukan bila sudah terjadi hiper inflasi, ini pernah dilakukan BI pada tanggal
13 Desember 1965 yang melakukan pemotongan uang dari Rp.1.000 menjadi Rp.1
B.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah suatu
kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi
lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang
beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan
belanja pemerintah.
Kebijakan yang digunakan dalam
kebijakan fiskal adalah kebijakan anggaran / politik anggaran, yaitu:
a. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan
Fiskal Ekspansif.
Anggaran
defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari
pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik
digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
b. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan
Fiskal Kontraktif.
Anggaran
surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar
daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika
perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk
menurunkan tekanan permintaan.
c. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran
berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan
pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian
anggaran serta meningkatkan disiplin.
Kebijakan fiskal dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Kebijakan Fiskal Ekspansioner yaitu
peningkatan belanja pemerintah dan/atau penurunan pajak yang dirancang untuk
meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini
adalah untuk meningkatkan produk domestik bruto dan menurunkan angka
pengangguran.
b. Kebijakan Fiskal Kontraksioner adalah
pengurangan belanja pemerintah dan/atau peningkatan pajak yang dirancang untuk
menurunkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini
adalah untuk mengontrol inflasi.
V.
KESIMPULAN
Krisis moneter yang melanda Indonesia
sejak awal Juli 1997 berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi
krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak
perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang
krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena
sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara
bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi.
Krisis
moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank:
Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat
pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus
meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih
terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah
masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa
kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan
berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien
dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya
data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah
besar melalui sistem perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana
dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis
moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mampu
ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang
badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang
ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang
yang datang mengancam.
Sebagai konsekuensi
dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa
membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan
membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistem managed floating yang dianut pemerintah
sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi
melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah,
sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah
kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS
Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat
kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi krisis ekonomi dalam
perekonomian Indonesia. Kebijakan tersebut sering kita kenal dengan kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan
uang
sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu, seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih
sejahtera.
Dalam kebijakan moneter terdapat 6 cara untuk mengatasi masalah perekonomian
makro. Keenam cara tersebut adalah open market, politik diskonto, politik
sanering, kredit selektif, rasio cadang wajib, dan himbauan moral. Keenam cara
tersebut adalah untuk mengatasi uang yang beredar. Seperti halnya open market
dengan cara membeli atau menjual surat berharga. Lalu politik diskonto dengan
cara menaikan atau menurunkan suku bunga agar masyarakat berkeinginan untuk
berinvestasi.
Kebijakan fiskal memainkan
peranan yang sangat besar dalam upaya penyehatan perbankan. Langkah utama yang
dilaksanakan adalah : penutupan bank-bank yang sangat tidak sehat (dengan
tingkat kecukupan modal kurang dari negatif 25%), penambahan modal bank (dari
yang tingkat kecukupan modalnya sampai dengan negatif 25% agar menjadi positif
4%), serta penerbitan obligasi atau surat utang negara (SUN). Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter
untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada
pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahardja,Prathama dan Mandala Manurung.
Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi). 2008. Jakarta : LPFE
Universitas Indonesia.
2. http://karimahpatryani.wordpress.com/2011/05/15/kebijakan-fiskal/
3. http://kinantiarin.wordpress.com/kebijakan-moneter/